Komisi IV DPRD Gresik Rapat dengar pendapat dengan Dinas KBPPA
GRESIK, DORRONLINENEWA.COM – Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Gresik menyoroti tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Kota Santri. Legislatif mendesak pemerintah daerah untuk menginisiasi dan memasifkan program konkret untuk menekan angka tersebut.
Kalangan legislatif menaruh perhatian serius terhadap isu ini. DPRD Gresik mempertanyakan kinerja organisasi perangkat daerah (OPD) yang dinilai tidak efektif. Terbukti, indeks kekerasan di kota Pudak pada 2023 menduduki peringkat keempat di Jawa Timur. Dengan total mencapai 341 kasus.
Dalam hearing baru-baru ini, Komisi IV DPRD Gresik mendesak seluruh OPD untuk menyamakan persepsi. Khususnya, ranah pencegahan agar kasus serupa tidak terjadi. “Kami sadar bahwa ini tanggungjawab bersama. Namun, pemerintah dengan segala kewenangannya harus memiliki program yang efektif, jangan hanya seremonial,” ujar Ketua DPRD Gresik Much. Abdul Qodir.
Qodir menyoroti bentuk koordinasi yang dilakukan antarlembaga, khususnya dalam ranah pencegahan. Sebab, banyak penanganan kasus baru dilakukan setelah korban berulangkali mengalami tindak kekerasan. “Ini yang harus menjadi fokus,” terangnya.
Pihaknya pun mendesak Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBPPA) mencari formula untuk mengatasi hal tersebut. Bahkan, memberikan ruang fiskal dalam menyusun program yang tepat sasaran.
“Mumpung masih dalam pembahasan P-APBD. Targetnya harus jelas yakni menekan angka kekerasan,” ujar politisi yang juga Ketua DPC PKB Gresik tersebut.
Sementara itu, Anggota Komisi IV DPRD Gresik Syaikhu Busiri mempertanyakan bentuk koordinasi lintas OPD. Khususnya yang berkaitan dengan bidang perempuan dan anak. Mulai dari Dinas Pendidikan, Dinas Sosial, hingga Satpol PP. “Terkesan jalan sendiri-sendiri. Ini yang sangat disayangkan,” keluhnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Keluarga Berencana, Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KBPPA) Gresik Titik Ernawati berkomitmen untuk terus mengevaluasi kinerja jajarannya. Termasuk menggandeng seluruh pihak untuk menekan angka kekerasan yang terjadi di Kota Pudak. “Mendorong gerakan 2P, yakni pelapor dan pelopor di wilayah desa dan sekolah,” ujarnya.
Dalam pengalamannya, anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) kerap berada dalam kondisi tidak ideal. Baik di internal keluarga maupun lingkungan sekitar. Kondisi darurat pengasuhan menjadi faktor paling berpengaruh, persentasenya mencapai 90 persen.
Meski demikian, pihaknya tetap aktif melakukan pendampingan terhadap ABH. Baik yang berstatus sebagai korban, saksi, maupun pelaku. “Memberikan harapan bagi masa depannya nanti,” jelasnya. (ADV/Ono)