Opini

Hilangnya Himmah Kaum Muslimin di tengah pandemi Covid-19 : Fatalisme (Jabariyah) oleh Syaichon Ibad

Teks Foto : Syaichon Ibad Mahasiswa Aqidah Filsafat Islam Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ampel Surabaya

GRESIK, DORRONLINENEWS.COM – Tuhan begitu mencintai kita dengan memberikan beberapa pilihan-pilihan dan kebebasan untuk kita dalam menentukan. Pada giliranya, mencintai sesama makhluk tuhan berarti meyakini akan kemampuan untuk menentukan pilihan kita sendiri (Irshad Manji, Allah, liberty and Love, 2012:7).

Covid-19 atau virus corona, telah menjadi percikan api kecil akan terjadinya kobaran-kobaran pemikiran dari kalangan agamawan dengan para ilmuwan. solusi-solusi yang diberikan dalam rangka memutus mata rantai laju penyebaran virus tanpa sadar telah mempersempit ruang kebebasan manusia sebagai makhluk free will and freee act.

Keadaan ‘jumud’ atau ‘stagnan’ (Muhammad ‘Imarah, 1996: 187) yang biasa dirasakan oleh kaum muslimin dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari sebelum kehadiran covid-19 ini, kini harus mulai diubah secara perlahan (Era New Normal). Dari mengurangi mobilitasnya seperti: kerja di rumah, ibadah di rumah, memakai masker, mencuci tangan, dan melaksanakan sosial distancing setiapkali berinteraksi dengan orang lain.

Berawal dari anjuran-anjuran yang runyam inilah, kaum muslimin mencoba bersikeras menyambutnya dalam keadaan gagap. Artinya, kaum muslimin belum terbiasa dengan Era New Normal. Dalam hal ini kaum muslimin mulai kehilangan semangat dan gairah (Himmah) dalam menjalani kehidupannya.

Kehilangan Himmah pada kaum muslimin di tengah wabah menjadi salah satu faktor penting yang membawa kaum muslimin kepada sikap bodo amat dan penyerahan diri secara Eksesif atau dalam bahasa jawa lebih akrab dikenal dengan istilah “Nerimo Ing Pandum”.

Penyerahan diri terhadap Tuhan secara berlebihan tanpa melakukan ikhtiar terlebih dahulu telah menghidupkan kembali khazanah Mubahasah (pembahasan) islam, dalam konteks sejauh mana potensi-potensi yang dimiliki tuhan untuk ikut campur dalam memberikan kontribusi pada diri manusia dan perjalanannya di dunia.

Otentik, pada hari Selasa (10/11) Antusiasme kalangan muslimin atas kepulangan Muhammad Rizieq Syihab (HRS) ke Indonesia. Banyak pengikut/jamaah dari imam besar (baca:ketua umum) FPI (Front Pembela Islam) ini yang memenuhi bandara Soekarno-Hatta, imbasnya sejumlah titik fasilitas di bandara dilaporkan rusak dikarenakan massa yang berdesakan tak bisa dihindari tanpa menjalankan social distancing di tengah pandemi. ( https://republika.co.id/berita/qjkb41459/sejumlah-fasilitas-bandara-soetta-rusak ) .

“Sains jelas mengerti bahwa seseorang akan kehabisan oksigen jika  lehernya tercekik atau diikat kuat-kuat, akan tetapi sains tidak akan mengerti jika kenapa seseorang itu tidak boleh melakukan itu terhadap orang yang lain. Di sanalah agama menempati lapak perannya (https://www.forma-surabaya.com/sains-dan-agama/ ).”

Kecelakaan atas sains dan agama dengan beberapa kerusakan yang disebabkan oleh jamaah HRS di bandara Soekarno-Hatta telah membuat kebenaran agama yang hakikatnya salim menjadi muskil, dimana agama yang sebenarnya menjadi titik sentralnya masyarakat untuk mengakses pemahaman-pemahaman di tengah pandemi agar tetap melaksanakan kebijakan-kebijakan dari pemerintah dalam menangani wabah dan beribadah sebagaimana mestinya, kini kian kabur.

Menengok sekilas model spirit Amar Ma’ruf Nahi Mungkar yang dimiliki oleh FPI sebagai bentuk ketidakpuasan mereka terhadap aparat keamanan yang bertugas memberantas kemaksiatan, kita tidak bisa menafikan. bahwa spirit ini sebenarnya juga amat dibutuhkan kaum muslimin yang sudah lama kehilangan himmah sekaligus identitasnya di tengah pandemi.

Cara menghargai kecerdasan seorang muslim adalah dengan memiliki keyakinan akan potensinya untuk menjadi agen perubahan dalam kehidupan ini, daripada duduk melamun dengan harapan fatalistik tentang kehidupan setelah kematian (Allah, Liberty and Love, 2012: 8).

Akan tetapi, sebagai imam besar (baca:ketua umum) atau pendakwah yang baik. bukankah sebaiknya yang lantip membaca keadaan sekitar. Artinya, akan sia-sia kita menjelaskan faedah dari shodaqoh di tengah masyarakat yang baru saja mengalami gagal panen atau bersuara lantang pada segerombolan orang yang sedang meminum-minuman keras dengan dalil atau nash-nash yang menjelaskan bahwa khamr haram.

“Diantara kamu sekalian, banyak orang yang menjadi  kafir, bahkan sudah memenuhi berbagai negri, maka siapakah yang mengajak berdialog mereka? Sarasehan dengan mereka (Fiqhul dakwah), dan siapakah yang memberikan petunjuk kepada mereka?” (“wejanganipun alrmarhum chodrotussyech Kyai Hasyim Asy’ari” sebagai terjemahan dari Al-MAWA’IZ, Ahmad Ma’mur, Yogyakarta, tanpa tahun)

Beranjak dari wejangan Almarhum Hadratussyaikh Hasyiem As’ari diatas, dapat kita temukan satu benang merah. bahwa nabi diiutus tuhan menyampaikan islam dengan bil hikmah (lemah lembut) wal mau’idhotil hasanah (pelajaran yang baik), wajadilhum bil lati hiya ahsan (bantah mereka dengan cara yang baik).

Nabi diutus bukan untuk merovolusi akhlak, melainkan menyempurnakannya. Artinya, akhlak menjadi pilar tegaknya tatanan masyarakat, pusaka utama para pendakwah terdahulu sekaligus menghindarkan hal-hal buruk pada agama (fitnah agama).

“kebenaran tidak akan menjadi lebih benar hanya karena seisi dunia menyepakatinya sebagai kebenaran, sebaliknya. Kurang benar jika seisi dunia tidak menyetujuinya.” ( Irshad Manji, Allah, Liberty and Love, 2012:15)

Almarhum Hadratussyaikh Hasiem As’ari juga melarang keras akan sikap ‘ashibiyah (rasa memihak) dalam masalah furu’ dan khilafiyah karena ulama’ dalam hal ini memiliki ada dua pendapat. Pertama, semua mujtahid benar. Kedua, dari sekian banyak mujtahid, yang benar hanya satu. Akan tetapi mujtahid yang salah tetap mendapat pahala (wejanganipun alrmarhum chodrotussyech Kyai Hasyim Asy’ari” sebagai terjemahan dari Al-MAWA’IZ, Ahmad Ma’mur, Yogyakarta, tanpa tahun).

Kegelisahan sejuah mana tuhan berperan dalam memberikan kontribusi pada kehidupan umat manusia, tanpa sadar telah menuntun kita pada atap pemikiran dan perdebatan teologi dalam peradaban islam yang pernah hidup maupun yang masih bernafas hingga sekarang, yakni fatalisme (Jabariyah).

Penentuan nasib yang berubah menjadi sesuatu bentuk yang menakutkan, dimana manusia kehilangan kebebasan akan kehendaknya serta kuasa yang tidak masuk akal, yang berasal dari suatu kekuatan yang samar atas diri manusia dalam menjalani kehidupannya. Jabariyah yang berideologi fatal dan beroposisi determinesme seakan hidup kembali, akan tetapi dalam bentuk yang berbeda selama jangka empat belas abad lamanya (Murtada Mutahhari, 1984: 82).

Paham ini lahir pada akhir abad ke-4 hjriyah, yang dipelopori oleh seorang maulana bani hakim dari Damaskus, ia dari kecil hidup dalam lingkungan orang kristiani yang gemar membicarakan hal-hal teologi. ia juga pernah diberi mandat oleh pemerintahan bani umayah untuk mengajar, namun tragis, setelah pemikiran-pemikirannya dianggap kontroversial oleh pemerintahan bani umayah, ia disuir dan lari ke Kuffah. ia adalah Ja’ad bin Dirham.

Disanalah, ia bertemu dengan Jahm bin Shofwan, murid sekaligus pengikut pemikirannya yang setia, Ia berasal dari Khurasan dan bertempat tinggal di Kuffah. di akhir hidupnya Jahm telah dibunuh oleh bani umayah atas perlawanannya terhadap pemerintahan bani umayah.

Paham ini dibagi menjadi dua bentuk menurut Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal. Pertama, jabariyah ekstrem yang diantara tokoh-tokohnya adalah Ja’an bid Dirham sendiri dan pengikut setianya yakni Jahm bin Shofwan. Dalam paham ini perbuatan manusia hanya terikat dalam setiap pena yang tuhan tuliskan dalam lauhul mahfudz dan manusia yang dalam keadaan majbur (terpaksa) secara mutlak dalam tindakannya (Abudin Nata, 1993: 42).

Kedua, jabariyah yang moderat. Diantara tokoh-tokohnya adalah Al-Najjar dan Adh-Dhirar. Doktrin paham ini manusia masih memiliki peran dalam menciptakan tindakannya. Artinya, perbuatan manusia bisa terwujud atas sumbangsih yang diberikan dari dua pelaku secara bersamaan (Tuhan dan Manusia). Manusia dan tuhan bekerja sama dalam menciptakan perbuatan-perbuatan manusia, karenanya manusia tidak lagi semata-mata dalam keadaan terpaksa dalam menjalani kehidupannya (Asy-Syahrastani, Al-Milal, 89).

Jika kaum muslimin tetap berpegang teguh dengan paham ini dan tidak sadar akan penjajahan paham ini ditengah pandemi, maka eksistensi kaum muslimin akan lenyap dan mengarah pada kemusnahan. Kemiskinan dimana-mana, corona rentan dan mudah menular dari muslim satu ke muslim yang lain, jauh lebih lemah dalam segi militer dan politik dari orang-orang barat. Serta perasaaan yang cukup dengan keadaan hidup yang pas-pasan, cukup makan dan tidur saja (Jamal Al Din Al-Afghani dan Muhammad Abduh, 1957: 50). (***)

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close