OpiniPeristiwa

Tragedi G30S/PKI 1965 LahirkanPahlawan Revolusi dan Ampera

Catatan: Yousri Nur Raja Agam MH *)

SURABAYA,DORRONLINENEWS.COM – SEJARAH telah mengabadikan nama-nama 11 Pahlawan Revolusi dan 13 Pahlawan Ampera. Mereka ini gugur sebagai pahlawan, akibat peristiwa atau tragedi Gerakan 30 September (G30S) tahun 1965 yang didalangi PKI (Partai Komunis Indonesia) atau biasa ditulis G30S/PKI.

Hari ini, 49 tahun yang silam, terjadi peristiwa berdarah. Peristiwa pengkhianatan oleh kaum komunis yang bernaung di Partai Komunis Indonesia (PKI). Sekarang PKI sudah dibubarkan dan dinyatakan sebagai partai terlarang di Indonesia.

Tiap tanggal 30 September, ditetapkan sebagai hari berkabung nasional. Untuk itu, ditandai dengan menaikkan bendera setengah tiang. Pada hari itu kita memberi penghormatan kepada para Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera.
Besoknya tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bendera merah-putih dikibarkan satu tiang penuh.

Peristiwa itu, merupakan sejarah yang kelam bagi bumi Indonesia. Sebab di tahun 1965 itu berguguran para Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera. Putra terbaik bangsa Indonesia itu gugur, akibat kekejaman oknum-oknum militer dan para anggota PKI beserta “antek-anteknya”

Pada waktu itu, sebagian besar anggota ormas (organisasi massa) yang tergabung dalam G39S/PKI, itu berusaha melakukan kudeta. Mengambilalih pemerintahan yang sah di waktu itu. Cara yang dilakukan adalah dengan menculik dan membunuh secara kejam para perwira tinggi TNI (Tentara Nasional Indonesia).

Sejarah Bisa Berubah

Peristiwa di tanggal 30 September 1965 itu menjadi tragedi nasional. Namun kaum milenial sekarang ini diombang-ambingkan dengan berbagai informasi yang menyesatkan. Sejarah bisa berubah; sebab kini guru dan dosen bagi para murid, siswa dan para mahasiswa, bukan hanya yang berada di ruang kelas atau perkuliahan. Tetapi, mereka sekarang bisa berhadapan langsung dengan sang mahaguru, “mbah Google” di kampus dunia maya.

Para kakek dan nenek, ayah dan ibu mereka yang berjuang serta lahir di zaman Orde Lama (Orde Lama), Orde Baru (Orba), terpaksa “mengurut dada”. Sebab, anak-anak sekarang sudah mengalami perubahan pola pikir yang tidak sama.

Tiga generasi sudah kenyang melahap sejarah sejak zaman Orde Lama (Orla) yang beralih ke rezim Orde Baru, terus ke era Reformasi. Generasi zaman ini tahu persis sepak terjang para penguasa. Mulai rezim Presiden Sukarno (1945-1966) dan Jenderal Soeharto (1966-1998) serta era Reformasi yang sudah dipimpin lima orang presiden.

Lima presiden di era reformasi, adalah: Baharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001) Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) dan Joko Widodo alias Jokowi (2014-2024).

Di masa pemerintahan Presiden Soeharto, situasi berubah akibat derasnya tuntutan generasi muda yang berhimpun dalam Kesatuan Aksi Angkatan 66. Para pelajar dan mahasiswa melakukan tuntutan yang disebut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat).

Gerakan aksi demo KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) dan KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) itu turun ke jalan-jalan utama kota besar. Tiga tuntutan dengan tema Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat)  itu adalah: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet 100 Menteri.

Waktu itu politik Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis), serta  Demokrasi Terpimpin di bawah Rezim Bung Karno, diubah menjadi Demokrasi Pancasila. Ekonomi yang merosot ditegakkan dengan menggiatkan pembangunan secara berencana. Pak Harto menatanya dengan tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).

Kendati sejarah masa lalu terbentang luas, namun alam pikir generasi sekarang bisa berkembang tanpa guru dan dosen. Cermin sejarah itu terpapar di hadapan mereka tanpa bingkai. Kisah dan cerita, beserta riwayat yang dibuat berdasarkan legenda, tutur tinular, dongeng,  imajinasi, hoax, bahkan merujuk kepada babad dan tambo, kini dapat mengubah alur sejarah yang sebelumnya sudah baku.

Kita merasakan saat ini satu generasi “terputus”. Sekarang lahir generasi yang sama sekali tidak tahu peristiwa sebenarnya di tahun 1965-1966 itu. Mereka inilah yang membuat perubahan sejarah berdasarkan ilmu teknologi dan informasi yang canggih. Bahkan tanpa konfirmasi dan check and check.

Generasi tua merasakan adanya “cuci otak” terhadap generasi baru, yang disebut milenial ini. Anak-anak muda bagaikan masuk ke alam gaib yang menimbulkan berbagai pandangan sejarah. Sehingga, terjadi pro dan kontra, serta perbedaan yang berhubungan dengan peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 beserta rangkaiannya.

Waspadai Balas Dendam

Ternyata perubahan cakrawala pandang itu terjadi di antara generasi sekarang adalah dari anak dan cucu, para “pesakitan”. Mereka mengaku sebagai korban kekuasaan Orba. Generasi ini bangkit di era reformasi. Targetnya ingin “balas dendam”.

Dengan segala cara, berdalih meluruskan sejarah yang dibengkokkan, maka anak-cucu dari “pesakitan” yang juga menyebut dirinya “korban Orba” itu, ada yang secara fulgar menyebut sejarah zaman Orba, adalah sejarah yang dibengkokkan. Sehingga, perlu diluruskan.

Memang sejarah adalah sejarah. Waspadai politik balas dendam. Untuk itu kita layak menelusuri secara runtut sejarah G30S/PKI. Apa yang melatarbelakangi, sehingga mereka melakukan penculikan dan pembunuhan para jenderal dan perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia), juga yang dari Polri (Kepolisian Republik Indonesia).

Pahlawan Revolusi

Para pelaku memusatkan aksinya di wilayah Lubang Buaya, dekat Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pada dini hari menjelang pagi tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965.

Tragedi berikutnya juga terjadi di Jogjakarta. Para korban yang gugur akibat kebiadaban G30S/PKI ini ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Sebelas Pahlawan Revolusi itu adalah:

  1. Jenderal Ahmad Yani,
  2. Letjen Suprapto,
  3. Letjen Mas Tirtodarmo Haryono,
  4. Letjen Siswondo Parman,
  5. Brigjen Donald Isaac Panjaitan,
  6. Mayjen Sutoyo Siswomiharjo,
  7. Kapten CZI Piere Andreas Tandean,
  8. Ajun Inspektur Polisi (AIP) Karel Satsuit Tubun.

Selain delapan orang itu, dua perwira gugur di Jogjakarta, yakni: 9. Brigjen Katamso Darmokusumo dan 10.Kolonel R.Sugiyono Mangunwiyoto.

Satu lagi dimasukkan sebagai Pahlawan Revolusi adalah, anak dari Jenderal Abdul Haris Nasution, yaitu: 11. Ade Irma Suryani Nasution. Sebelas Pahlawan Revolusi itu, adalah bukti sejarah akibat perbuatan keji G30S/PKI. 

Komandan Cakrabirawa, Letnan Kolonel (Letkol) Untung, secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Pimpinan Tertinggi G30S. Para perwira tinggi yang diculik dan dibunuh itu, dinyatakan “musuh”, dengan tuduhan sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan mengkudeta kepemimpinan Presiden Soekarno.

Setelah ditelusuri, G30S ini didalangi oleh PKI. Kemudian dengan terbitnya Surat Perintah tertanggal 11 Maret 1966 (Supersemar) dari Presiden Sukarno kepada Jenderal Soeharto, maka tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No.XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme di bumi Indonesia.

Pahlawan Ampera

Tidak hanya itu, kemudian para Mahasiswa dan Pemuda Pelajar yang tergabung dalam organisasi KAMI dan KAPPI bangkit. Mereka kemudian didukung pula oleh berbagai kesatuan aksi. Para guru bangkit dengan KAGI, buruh (KABI) dan sarjana (KASI). Semua Kesatuan Aksi ini bergabung sebagai Eksponen 66.

Dari kalangan Eksponen 66 atau Angkatan 66 itu, juga berguguran para Pemuda/Pelajar anggota KAPPI dan Mahasiswa anggota KAMI. Mereka ini diberondong peluru pendukung G30S/PKI saat berdemonstrasi pada rentang waktu tahun 1966-1967. Tidak hanya di ibukota Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia.

Dari catatan sejarah Angkatan 66, ada 13 orang anggota KAMI dan KAPPI dari berbagai daerah di Indonesia yang gugur saat melakukan aksi Tritura. Para pejuang Tritura 1966 ini diberi penghormatan dan jasa sebagai “Pahlawan Ampera”.

Penganugerahan gelar Pahlawan Ampera itu berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: TAP MPRS XXIX/MPRS/1966.

Para Pahlawan Ampera itu adalah:

  1. Arief Rachman Hakim, KAMI, di Jakarta
  2. Ichwan Ridwan Rais KAPPI di Jakarta
  3. Zubaedah KAPPI di Jakarta
  4. M.Sjafi’i KAPPI di Jakarta
  5. Zainal Zakse Wartawan KAMI di Jakarta
  6. Yulius Usman KAPPI di Bandung, Jabar
  7. Hasanuddin KAPPI di Banjarmasin, Kalsel
  8. Margono KAPPI di Jogjakarta
  9. Aris Munandar KAPPI di Jogjakarta
  10. Ahmad Karim KAPPI di Bukittinggi, Sumbar
  11. M. Syarif Al Kadri KAPPI di Makassar, Sulsel
  12. Dicky Oroh KAPPI di Manado, Sulut
  13. Yusuf Hasim KAPPI di Manado, Sulut.

Adanya keputusan resmi Pemerintah, menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera  kepada yang gugur sebagai korban kekejaman G30S/PKI, merupakan bukti sejarah yang nyata. Jadi,  bagaimana pun juga kita layak untuk mengetahui masa lalu melalui sejarah. Membaca peristiwa masa lampau.

Mempelajari berbagai dokumentasi. Bahkan menonton film dan video. Misalnya menyaksikan filem Pengkhianatan G30S/PKI yang biasanya diputar ulang setiap akhir September seperti saat ini. Kita juga perlu mengikuti jejak perjuangan pelajar dan mahasiswa, KAMI dan KAPPI, serta KANI, KAGI dan KASI.

Seluruh massa kesatuan aksi waktu itu kemudian dikenal sebagai Angkatan 66. Berdemonstrasi melakukan gerakan sporadis di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga, segala bentuk kegiatan yang berbau komunis, dikikis habis, dilarang di Bumi Nusantara. (*)

 *) Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66. (Dewan Pimpinan Pusat Forum Keluarga Besar Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia Angkatan 66). (***)

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close