Perhutani Atau DLH Harus Tindak Tegas Penebang Kayu Tanpa Prosedur

Teks foto : posisi kayu yang ditebang pinggir jalan desa Burno
LUMAJANG, DORRONLINENEWS.COM – Saling mengklaim wilayah kepemilikan pohon Mahoni di jalan desa Burno, mengundang banyak tanggapan dari berbagai pihak terkait. Hal tersebut terkait dengan pekerjaan DPUTR masalah pelebaran jalan ruas Senduro-Jemblangan, yang kebetulan lokasinya memang terkendala ada pohon Mahoni.
Diakui DLH Lumajang melalui Gunawan Kabid pemeliharaan lingkungan, bahwa karena PU yang mempunyai aset jalannya dan DLH yang mempunyai aset pohonnya jadi tidak ada restribusi. Dan itu sudah disetujui oleh DLH, sudah dimintakan ijin oleh DPUTR, untuk kayunya diserahkan ke TPA desa Besuk, kecamatan Tempeh, kabupaten Lumajang. “Tetapi dalam perda yang baru ini nanti bisa dilelang, nanti petunjuk lelangnya melalui perbup”, ujar Gunawan.
Dalam pelaksanaannya ternyata muncul permasalahan, pihak pemerintah desa mengklaim kayu Mahoni tersebut milik orang Burno. Orang Burno yang menanam, orang Burno yang merawat. Akibatnya masalah ini berujung pihak desa yang memotong pohon Mahoni tersebut, dan dijual, hasil penjualan dibagikan ke rukem-rukem di wilayah desa Burno. Dikatakan sumber informasi yang dapat dari penebang kayu, bahwa dari kayu yang ditebang dapat uang bersih sekitar 26 juta rupiah.
Ditanggapi Dedy Hermansjah, Aktivis Lingkungan Hidup dan Kehutanan kabupaten Lumajang, jika merujuk pada Perda yang ada, terkait dengan penebangan pohon yang berada diruang milik jalan atau diruang manfaat jalan untuk kepentingan pembangunan infrastruktur harus mendapatkan rekomendasi dari DLH sesuai kewenangannya. “Dan untuk hasil kayunya diserahkan ke TPA, DLH juga wajib melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tebangan tersebut sampai selesai dan terkirim dengan aman ke TPA”, jelas Dedy.
Menyikapi masalah tersebut, Guntur Nugroho ketua GMPK (Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi) Lumajang kepada awak media memberikan pandangan hukumnya. Bahwa yang pertama kita lihat dulu, pohon yang ditebang dizona kewenangan siapa. “Apakah Perhutani atau sudah menjadi kewenangan DLH, yang jelas kalau melihat lokasi dipinggir jalan itu kemungkinan milik dua instansi DLH atau Perhutani. Tetapi apapun itu kalau sudah menjadi milik Perhutani atau penanganannya DLH, maka setiap penebangan dilakukan harus melalui prosedur. Kemarin kita diskusi dengan Perhutani, dirinya melarang untuk menebang penegakan itu, kecuali harus ada rekomendasi ketika akan dipergunakan untuk Fasum”, ungkap Guntur.
“Kalau memang itu diklaim kewenangan DLH, ada Perbup yang mengaturnya. Kalau ndhak salah Perbup nomor 5 tahun 2006 tentang tatacara penebangan, bolehkah warga, boleh warga menebang itu. Tetapi harus ijin dulu, membuat proposalnya, membuat surat ijin kepada DLH dan ternyata ada tarifnya yang dibebankan dan itu masuk ke kas daerah. Kalau prosedur itu tidak dilewati, ya jelas sudah melanggar Perbup, sudah pasti pelanggaran. Kategori yang dimaksud apakah pelanggaran Perda ataukah, kalau cuma ditebang berarti kayunya masih ada berarti yang dilanggar Perda atau Perbup, ada sanksinya penebangan pohon tanpa melalui prosedur”, jelasnya.
Guntur juga menambahkan, “Kalau tidak diambil atau tidak diperjualbelikan itu Perda yang dilanggar, tapi kalau diangkut diperjualbelikan tanpa sepengetahuan yang memiliki kewenangan itu ya sudah pasalnya ya pencurian. Maka silahkan DLH atau Perhutani yang menggugat, jadi meskipun itu atas dasar masyarakat, apapun alasannya tidak peduli itu siapa. Meskipun itu alasannya untuk rukem atau untuk kepentingan masyarakat, tetap prosedur harus dilalui. Yang punya kewenangan harus dilewati dulu, ada prosedur yang mengaturnya jadi DLH atau Perhutani tidak boleh tutup mata, harus ditegakkan sanksinya biar tidak memancing masyarakat yang lain untuk melakukan yang sama”, pungkas Guntur. (Jiwo)