Pendidikan

SKB Empat Menteri Pembelajaran Tatap Muka Diijinkan Sesuai Aturan

Teks foto : Kadindik kabupaten Lumajang, Agus Salim.

LUMAJANG, DORRONLINENEWS.COM – Kesepakatan diizinkannya penerapan sekolah tatap muka mulai Januari 2021, hal itu tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, juga Menteri Dalam Negeri. Mendikbud mengijinkan sekolah tatap muka mulai Januari 2021, dikatakan Mendikbud saat mengumumkan keputusan via virtual, Jumat (20 /11/2020) lalu.

Keputusan ini melibatkan permufakatan dengan Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, serta pemerintah daerah. Nantinya, kepala daerah boleh melakukan pembukaan sekolah tatap muka secara serentak atau bertahap. Namun, penerapan sekolah tatap muka nanti tidak merupakan paksaan atau keharusan. Orang tua masing-masing siswa bisa menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut sekolah tatap muka atau tetap melalui daring. Dengan demikian guru dituntut mampu merancang dan mendesain pembelajaran daring yang ringan dan efektif, dengan memanfaatkan perangkat atau media daring yang tepat dan sesuai dengan materi yang diajarkan.

Kepala Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan kabupaten Lumajang, Agus Salim saat dikonfirmasi awak media mengatakan, bahwa sejak Maret tahun 2019 yang lalu itu pandemi ada sampai sekarang. Maka, tentu ini akan berpengaruh kepada sektor pendidikan. “Ketika di bulan Maret, April, Mei, Juni, ada instruksi untuk daring, maka Lumajang mencoba untuk berkreasi, berinovasi dengan cara menemukan solusi, alternatif pembelajaran dimasa pandemi. Yaitu saat itu sambil daring ada guru sambang, pada saat itu memang ada SKB Empat menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, dan juga Menteri Dalam Negeri”, ujar Agus.

“Empat kementerian tersebut menyampaikan, pembelajaran itu boleh tatap muka pada daerah atau wilayah yang berzona hijau dengan segala aturannya, dan seterusnya. Dan memang ada larangan tatap muka selain zona Hijau, saat itu juga kita sedang berfikir bagaimana caranya agar harapan masyarakat, harapan orangtua agar bisa bersekolah kembali itu ada peluang-peluang maka kita mencoba untuk mendesain sebuah pembelajaran dimasa Pandemi. Muncullah yang namanya guru sambang, jadi pemerintah Empat menteri itu melarang untuk tatap muka, kita melakukan berbalik yaitu mencoba mengklip dengan membuat mekanisme baru yaitu namanya guru sambang. Guru nyambangi kerumah anak, itu jalan dan adaptasi dari masyarakat sambil kita evaluasi ternyata memang banyak keluhan-keluhan, ada yang bosenlah karena temannya itu-itu saja. Orangtua juga merasa ada yang rugi ada yang karena mungkin disambangi guru nyiapin wedang kopi, nyiapkan pisang goreng dan banyak kos yang dikeluarkan”, jelas Agus.

Lanjut Agus, “Jadi kita evaluasi-evaluasi dalam pembelajaran yang baik, kita evaluasi muncul ide baru yang namanya PSB (Program Sinau Bareng) ini berbaliknya dari guru sambang. Namanya Sinau Bareng itu tata aturannya atau juklaknya atau panduannya hampir sama dengan guru sambang, hanya bedanya tempat belajarnya. Sinau Bareng itu ada di sekolah dengan aturan 25 % jumlah anak, yang boleh dilakukan untuk kegiatan Sinau Bareng/bareng-bareng Sinau. Dengan tidak berseragam memakai baju bebas dan rapi termasuk gurunya, dengan hitungan 25 % jumlah anak dari sekolah itu. Sekolah wajib melakukan yang namanya membuat fakta kesiapan sekolah”, tambah Agus.

“Sekolah wajib melakukan sterilsasi sekolahan, sekolah wajib menerapkan disiplin tentang Prokes, sekolah wajib membuat SOP kesehatan bagi siswa, orangtua termasuk pada lembaga sendiri. Sekolah harus mengatur jadwal secantik mungkin, anak-anak sekolah ini paling sekitar seminggu dua kali satu anak. Karena memang satu kelas dibatasi ndhak banyak antara 5, 6, 7 sampai 10 maksimal satu kelas. Benar-benar diatur jaraknya kemudian diatur pembelajarannya yang seenjoi mungkin, seenak mungkin tidak membuat berat pada anak, inilah yang namanya PSB”, jelas Agus.

“Kemudian PSB itu bersifat kondisional dan fleksibel, maksudnya sekolah boleh melakukan PSB atau tidak itu sekolah yang menentukan, contoh SMP Sukodono berPSB, SUT SMP tidak karena apa, mungkin SMP SUT kepala sekolahnya kemungkinan sudah tahu wilayah itu dimungkinkan sedang ada Covid-19 atau gurunya sedang ada Covid-19. Maka sekolah berkeputusan untuk tidak PSB dulu, jadilah kondisional. Jangan kaget kalau SD sana buka SD sana tutup, ndhak masalah itulah memang sifat kondisional bagi PSB. Kesimpulannya apa, jadi pemerintah berkepijakan PSB keputusannya Lockly atau sekolah berkeputusan, kemudian fleksibel itu tadi sudah saya katakan SMP 1 Lumajang tutup karena Covid-19. Pandemi/Zona ini kan dinamis ya, terbuka, mungkin saat itu masih wilayahnya belum aman. Suatu saat 2 minggu aman maka SMP 1 boleh untuk kembali PSB, nah inilah sifat dari PSB sehingga tidak ada lagi yang dipaksakan. Jadi bagaimana mengobati anak yang rindu pada sekolahnya, bagaimana anak dirinya seorang pelajar, bagaimana membuat anak tidak galau, inilah salah satu cara inovasi kembali lagi dimasa Pandemi”, tambah Agus.

“Lumajang sudah menyuguhkan 3 model, ada daring, ada yang namanya guru sambang, dan ada yang namanya PSB. Sehingga pilihan-pilihan yang disuguhkan kepada masyarakat bisa dilakukan, saya kepingin daring, saya kepingin PSB silahkan, sekolah akan melayani kebutuhan masyarakat, sehingga sudah tidak terbantahkan lagi untuk kita memilih. Apa maunya, mau Daring silahkan, mau disambangi ada guru sambang. Mau datang ke sekolah ada Sinau Bareng sudah, jadi ini pilihan masyarakat boleh untuk menentukan. Ndhak butuh semuanya dipersilahkan tergantung masyarakat, dan saya jamin sekolah tidak akan menyangsi. Tentu bagi orangtua murid pasti ada mekanisme, ada aneka model, ada pilihan, bervariasi nah inilah Lumajang yang menyikapi pendapat dimasa Pandemi yang cukup unik ini”, pungkas Agus. (Jiwo/Lono)

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close