Opini

Menyongsong Peringatan Hari Sarung Nasional 2020 Saya Teringat Baju Basofi

Catatan: Yousri Nur Raja Agam

 

GRESIK, DORRONLINENEWS. com – Tanggal 3 Maret, sejak tahun 2019, ditetapkan oleh Presiden RI Joko Widodo, sebagai Hari Sarung Nasional. Tentu kita sebagai warga negara Indonesia seharusnya terpanggil untuk memperingati Hari Sarung Nasional ini.

Kita tahu kain sarung, adalah budaya asli nenek moyang kita. Boleh dikatakan di seluruh pelosok Nusantara, rakyat Indonesia sudah mengenal dan tidak asing dengan kain sarung.

Bagi umat Islam, tekstil tenun ini digunakan sebagai pelengkap saat menunaikan ibadat shalat. Kendati tidak ada ketentuan dalam Islam, bahwa shalat harus menggunakan kain sarung, ternyata bagi bangsa Indonesia, kain sarung sudah membudaya sebagai alat perangkat shalat. Di samping penggunaannya praktis, juga sangat memenuhi kententuan sebagai busana shalat.

Dalam kenyataannya, kain sarung memang bukan hanya khas umat Islam saja, tetapi juga bagian dari budaya suku bangsa, berbagai daerah di Indonesia. Bahkan
penggunanya tidak hanya umat Islam, namun juga oleh non Muslim. Artinya, kain sarung bukan khas umat Islam dan bukan hanya untuk shalat atau ibadah kaum Muslim.

Memang, bangsa Indonesia harus bangga, ternyata kain sarung produksi Indonesia ini, juga digunakan oleh masyarakat lain di mancanegara.

Kain sarung diproduksi sejak dahulu kala secara turun temurun dengan ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Prosesnya kemudian beralih ke ATM (Alat Tenun Mesin) sesuai perkembangan teknologi. Di samping sebagai kain sarung, juga ada yang disebut kain songket, bahkan sarung batik.

Pada awalnya, kain sarung di Indonesia dibuat dengan bahan dasar alami, yakni benang, kapas, kapuk, katun dan benang sutra. Kemudian berkembang menggunakan benang alam lainnya, hingga polyester atau sintetis.

Walaupun dari berbagai daerah, menggunakan bahan benang kapas dan benang sutra, namun kain sarung sutra dari Bugis lebih dikenal. Sehingga, sebutan sarung Bugis, identik dengan kain sarung sutra dari Sulawesi Selatan itu.

Berbagai daerah di Indonesia, umumnya mempunyai produksi tenun sarung. Ada beberapa daerah lebih popular, seperti Majalaya, Samarinda dan Gresik.

Di era modern dengan kemajuan teknologi sekarang ini, proses pembuatan sarung tidak tergantung dari tenun yang melemparkan pakan di antara benang suri saja. Menyusun dan mengurainya untuk menentukan corak dan warna pun, sekarang sudah komputerisasi.

Dengan corak dan ragamnya, kain sarung sudah menjadi pelengkap busana adat dan budaya berbagai daerah.

Masyarakat Minangkabau bersama masyarakat rumpun Melayu, misalnya, menjadikan kain sarung pelengkap busana adat tradisional. Kain sarung pun menjadi busana resmi, yang sama fungsinya dengan celana panjang.
Kombinasi kain sarung dengan baju jas, sudah lama kita lihat digunakan para tokoh nasional masa lalu. Masyarakat Melayu, mulai dari Aceh, Riau, Deli, Minang, Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, Betawi, Banten, Madura, serta Banjar dan Bugis, menjadikan kain sarung sebagai pelengkap busana adat. Kain sarung dilipat dua menjadi setengah bagian dipakai di pinggang, dengan tetap menggunakan celana panjang.

Model seperti ini, di samping menggunakan kain sarung, juga menggunakan kain songket. Songket adalah jenis tenunan yang biasanya digunakan sebagai busana kaum ibu bagian bawah dan selendang. Busana ini umumnya digunakan sebagai pakaian adat berbagai daerah di Indonesia. Terutama di luar Jawa.

Lebih khas lagi, kain sarung digunakan untuk busana adat “setengah resmi” bagi laki-laki masyarakat Minang. Kain sarung dilipat memanjang dijadikan sal yang disandang di leher. Biasanya kain sarung “sutra” Bugis. Busana yang dipakai baju takwa atau gunting Cina warna putih, dikombinasi dengan celana panjang batik atau celana panjang biasa. Tentunya, menggunakan tutup kepala kopiah hitam atau topi putih khas Arab.

Kaum ibu, juga sudah terbiasa menjadikan kain sarung sebagai busana bawahan yang dikombinasi dengan baju kurung, kebaya atau baju bodo khas Makassar.

Teringat Basofi Soedirman

Ada pula penggunaan kain sarung dipasang setengah lipatan atau seukuran selendang songket, di bawah jas atau beskap. Busana seperti stelan jas ini, tidak jarang digunakan sebagai pakaian resmi.

Berbicara tentang beskap dan kain sarung, saya ingat nama mantan Gubernur Jawa Timur, HM Basofi Soedirman (alm). Beskap digunakan pengganti jas, sebagai PKJ (Pakaian Khas Jawa Timur). Pakaian resmi untuk acara dan upacara bersifat kedaerahan. Busana beskap model safari yang di kantong kirinya dihiasi rantai dengan asesoris kuku harimau itu pun, dikenal di dunia mode sebagai “baju basofian”.

Walaupun Basofi menerapkan penggunaan PKJ itu saat dia menjadi gubernur Jawa Timur tahun tahun 1993-1998, namun menjadi warisan sampai pemerintahan Jawa Timur sekarang ini.

Begitu nyamannya Basofi menggunakan beskap yang berubah nama jadi PKJ itu, pria pelantun lagu “Tidak Semua Laki-laki” ini juga memodivikasi bahan dasar beskap itu dengan kain batik. Busana beskap berbahan dasar batik ini digunakan secara bersama oleh sebuah kepanitiaan acara tertantu. Ada juga yang digunakan untuk seragam kontingen olahraga.

Busana ini memang enak dipakai, dan kemudian “baju basofian” dari bahan batik ini, juga digunakan untuk berbagai kegiatan lainnya.

Bukan hanya itu, kembali ke kain sarung. Basofi, juga memasyarakatkan baju dengan bahan kain sarung. Sebagai penggagas, Basofi juga langsung jadi model. Mantan wakil gubernur DKI Jaya ini tak segan-segan menyosialisasikan busana baju beskap berbahan dasar kain sarung dengan mengenakannya ke mana-mana. Orang pun menyebut baju dengan bahan dari kain sarung ini menjadi baju model Basofi.

Nah, setelah setahun Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, menetapkan tanggal 3 Maret sebagai Hari Sarung Nasional, maka seyogyanya peringatan tahun ini lebih meningkat dan berkualitas. Waktu pengesahan Hari Sarung Nasional itu, sembilan kementerian dan lembaga negara menyelenggarakan Festival Sarung Indonesia 2019. Bersamaan dengan itu dilaksanakan peresmian Rusari (Rumah Sarung Indonesia) di Jakarta.

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop dan UKM) AAGN Puspayoga, ditunjuk Jokowi — Joko Widodo — sebagai ketua dewan pembina acara yang digelar di GBK (Gelora Bung Karno), Senayan, Jakarta itu.
Dengan ditetapkannya tanggal 3 Maret, sebagai Hari Sarung Nasional para perancang mode sudah banyak yang mengembangkan kreativitasnya. Selain memodivikasi busana dengan bahan dasar kain sarung, juga ada yang memperkenalkan celana panjang bercorak kain sarung.

Mari kita sambut Hari Sarung Nasional 2020, tanggal 3 Maret 2020, dengan semangat menjadikan Kain Sarung sebagai warisan budaya nasional yang diakui dunia.
*) Penulis adalah Wk.Sekretaris IKATSI (Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia) Jawa Timur.

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close