Pelepasan Siswa MTsN Lumajang Kemampuan Walimurid Tidak Dipedulikan

LUMAJANG,DORRONLINENEWS – Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Suko Lumajang menggelar acara perpisahan bagi siswa kelas IX di Gedung RCC, jalan Lintas Timur Lumajang. Kegiatan ini menjadi momentum pelepasan siswa yang telah menyelesaikan pendidikan mereka selama tiga tahun di madrasah tersebut, hadir dalam acara tersebut kepala Kemenag kabupaten Lumajang memberikan sambutan, Sabtu (31/05/2025).
Namun, kegiatan yang seharusnya menjadi ajang kebahagiaan itu menyisakan polemik di kalangan orang tua siswa. Pasalnya, pihak sekolah membebankan biaya sebesar Rp 325.000 kepada setiap siswa untuk mengikuti acara tersebut. Biaya tersebut juga disertai dengan kwitansi resmi sebagai tanda pembayaran dan berstempel panitia. Beberapa orang tua siswa menyampaikan keberatannya atas besarnya biaya yang harus dikeluarkan, terlebih karena kegiatan tersebut bersifat wajib.
Mereka menilai belum ada musyawarah yang menyeluruh dengan wali murid sebelum keputusan tersebut ditetapkan, tahu-tahu muncul kesepakatan dan nominal yang sudah ditentukan. “Biayanya cukup besar untuk kami. Apalagi ini bukan acara sukarela, tapi wajib diikuti semua siswa. Kami tidak pernah diajak musyawarah secara terbuka”, ujar salah satu wali murid yang enggan disebut namanya.
Pihak sekolah sendiri belum memberikan pernyataan resmi terkait keberatan tersebut. Kepala sekolah MTsN, Safik saat dikonfirmasi awak media mengatakan, bahwa kegiatan tersebut bukan programnya sekolah. “Kalau maunya saya itu sudah saya tawarkan ke guru-guru, kegiatan ini biasa saja dan sederhana. Tehniknya sudah saya sampaikan, karena saya disini juga masih baru. Saya mengajak pelepasan siswa ini dilakukan kegiatan yang bernuansa Islam, yang terpenting adalah sujud syukur”, ujar Syafik, Selasa (20/05/2025).
“Terkait kepanitiaan itu paguyuban, kalau memang ada wali murid yang tidak setuju, kenapa pada waktu rapat kok diam. Mereka itu di masing-masing kelas itu punya pengurus, jadi pengurus inilah yang bertanggung jawab terhadap seluruh anggota di kelas itu. Kenapa kok mengusut saya, misalnya kelas tidak setuju kan ada pengurus. Paguyuban kesana jangan ke saya, saya kan diundang, saya nggak tahu apa-apa. Pokoknya dalam acara saya datang dan duduk manis, dalam artian ndhak tahu itu bagaimana saya tidak tahu”, ungkapnya.
Meski demikian, polemik mengenai transparansi dan komunikasi dalam pengambilan keputusan semacam ini diharapkan dapat menjadi bahan evaluasi bagi pihak sekolah agar ke depan kegiatan serupa bisa dirancang dengan lebih partisipatif dan adil bagi seluruh pihak. (Jwo)