Hukum dan Keamanan

Perseteruan Selebrita Tulungagung Menemui Babak Baru

Teks foto : Caroline bersama kuasa hukumnya

TULUNGAGUNG, DORRONLINENEWS.COM – Perseteruan dua selebrita cantik asal Tulungagung Caroline Vs Herlina masih berlanjut di meja hijau. Tim kuasa hukum Caroline warga asal Kelurahan Kutoanyar, Kecamatan/ Kabupaten Tulungagung menyebut adanya diskriminasi atau ketidak adilan dalam penanganan perkara yang dihadapi oleh kliennya saat ini.

Hal ini disampaikan Sumardhan, S.H, M.H.,selaku Tim Kuasa Hukum Caroline, usai mendampingi kliennya sebagai terlapor dalam sidang perkara UU ITE di Pengadilan Negeri Tulungagung.
Yang dianggap tidak adil itu adalah terkait bentuk pelayanannya,” ujarnya.

Menurutnya, pada saat proses perkara UU ITE yang dialami kliennya (Caroline) penanganannya begitu cepat, akan tetapi ketika kliennya (Caroline) melaporkan tentang perkara identitas palsu atau pasal 266 KUHP terkesan lama prosesnya.

“Padahal informasi yang kami dapat bahwa perkara ini sudah masuk tahap P-21 sejak 26 februari 2024, tapi ternyata sampai sekarangpun belum sampai ke tahap kedua (penyerahan),” kata Sumardhan.

Sebagai Tim Kuasa hukum pelapor (korban) pihaknya merasa khawatir dan merasa takut terhadap tersangka H atau S, karena pada waktu persidangan 2 minggu yang lalu, di depan hakim, dia mengatakan bahwa dia bertempat tinggal di Singapura.

“Ini yang menjadi kekhawatiran kami,” imbuh Sumardhan.

Advokat Edan Law asal Malang ini
berharap, kepada penyidik Polres Tulungagung, maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Tulungagung, agar segera melakukan proses tahap kedua.

“Yang kita persoalkan itu terkait kenapa di tahap kedua dalam perkara 266 ini terkesan lamban. Padahal hukumannya kan lebih besar yakni 7 tahun penjara dan secara hukum tersangka itu boleh ditahan,” tandasnya.

Selain itu lanjut Sumardhan, dalam proses penanganan perkara tersebut harusnya menggunakan azas sederhana dan cepat.

“Itu penting untuk diperhatikan oleh aparat penegak hukum, karena itu ada korelasinya dengan yang sedang di persidangan,” kata Sumardhan.

“Kenapa ada hubungannya? karena tersangka ini menggunakan dua identitas, satu bernama Herlina KTP-nya Jakarta, dan satunya dengan nama Suprihatin dengan KTP alamat Tulungagung. Jadi penting berkaitan dengan perkara yang sedang kami tangani,” ungkapnya.

Lanjut Sumardhan, terkait dengan agenda sidang tersebut pihaknya juga meminta keterangan tentang verbal lisan dari penyidik. Dan dari proses persidangan ini menurutnya juga banyak yang janggal.

Dari proses sidang hari ini kami menilai banyak kejanggalan, hal ini terlihat dari BAP nya hampir sama semua antara orang yang tahu dengan orang yang tidak tahu makanya hakim dan kami sebagai penasehat hukum, ragu atas keterangan BAP itu,” terangnya.

Bukan hanya itu saja, pihaknya menemukan beberapa fakta yang tidak pas, salah satunya yakni ada orang yang tidak kenal tapi mengakui orang lain dirugikan. Selain itu pihaknya juga mempersoalkan tentang prosedur atau proses tata cara yang menurutnya banyak hal yang tidak benar.

“Dari situlah dalam agenda sidang kali ini kami lebih banyak bertanya tentang fakta-fakta yang ada di BAP,” ucap Sumardhan.

Kenapa kok bisa begini?? Salah satu contoh, yang dijadikan sebagai barang bukti itu 3 fotokopi lembaran yang berbunyi jelek-jelek, yang macam-macam postingan, semestinya keterangan itu kan harus diambil didalam HP atau di laptop sebagai barang bukti. Tapi itu tidak, hanya berupa fotokopi yang sudah dibawa oleh pelapor, dan secara hukum, fotokopi kan bukan alat bukti. Kenapa kok tidak disita saja dari HP orang yang memberikan informasi, karena itu barang bukti dan sesuai pasal 181 KUHP menyebutkan barang bukti wajib ditunjukkan di dalam persidangan.
Itu termasuk menjadi bagian dari persoalan dan banyak hal lainnya yang kami nilai janggal,” tandasnya.

Dalam kesempatan tersebut, Mohammad Ababilil Mujaddidyn (Billy Nobile & Associate) yang juga Tim Kuasa Hukum Caroline, juga menambahkan bahwa, menurut SKB antara Menteri Kominfo Kajagung dan Kapolri, UU ITE itu harus spesifik yaitu nama yang sebenarnya.

“Jadi, selama nama yang sebenarnya ini tidak muncul di dalam unggahan, itu tidak bisa disebut sebagai pencemaran.
Dalam kasus ini, identitasnya yang sebenarnya itu bukan yang disebut dalam unggahan. Sampai saat ini pun masih ada unggahannya,” ujar Pria yang akrab disapa dengan nama Billy.

Menurutnya, yang terungkap di Pengadilan bahwa identitas pelapor itu ganda, dan di kasus lain, statusnya itu sudah tersangka dan sudah pada tahap P-21 menunggu tahap dua atau pelimpahan dari penyidik Polres ke jaksa.

“Seperti yang disampaikan oleh rekan saya tadi, kenapa kok lambat? itu yang kita pertanyakan. Itu yang kita bilang diskriminasi tadi, penanganan, pelayanan sebagai penegak hukum. Karena ketika klien kami dulu, dua hari langsung selesai,” kata Billy.
Yang lambat itu penanganan perkara 266 yakni menempatkan keterangan palsu ke dalam akte otentik, itu ancamannya 7 tahun. Padahal perkara itu sangat penting sekali, menguji kebenaran identitasnya, satu Herlina, satu Suprihatin. Ketika lahir di Tulungagung namanya Suprihatin kemudian dia pindah ke Jakarta lahirlah itu namanya Herlina. Ini kan harus dibatalkan dulu demi nama undang-undang. Kan gak boleh identitas ganda itu. makanya itu patut diduga melanggar UU pasal 266 KUHP,” ungkapnya.

Sementara menurut Caroline, dengan adanya perkara tersebut bisa menjadi pembelajaran atau pesan penting yang bisa diambil hikmahnya.

“Berbanggalah dengan nama pemberian orang tua, entah itu mau pindah ke kota metropolitan, ya berbanggalah dengan nama pemberian dari orang tua,” tutur Caroline singkat. (R_win / Joni)

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close