Peristiwa

Bentuk Ucap Syukur Kepada Sang Pencipta, Dusun Sumberdadi Lestarikan Budaya Jawa

Teks foto : Dusun Sumberdadi Lestarikan Budaya Jawa

MOJOKERTO, DORRONLINENEWS.COM – Indonesia adalah negara yang kaya akan adat dan budaya. Beda daerah, beda pula budayanya. Termasuk masyarakat Jawa yang memiliki tradisi turun temurun yang biasa disebut Sedekah Bumi.

Seperti halnya Dusun Sumberdadi yang saat ini gelar sedekahbumi bertempat di aula balai dusun Sumberdadi, Desa Gunungsari, Kecamatan Dawarblandong, Kabupaten Mojokerto. pada Sabtu, (13/05/2023).

Hal tersebut digelar sebagai bentuk rasa syukur terhadap sang pencipta yang telah memberikan rezeki berupa hasil bumi untuk keberlangsungan hidup warga masyarakat.

Pada kesempatan ini turut hadir Muspika Dawarblandong, Babinsa, Bhabinkamtibmas, Kepala Desa Gunungsari H. Susanto, S.H., Kepala Dusun Sumberdadi Suroto, RT/RW, Ketua Panitia beserta Panitia Pelaksana dan warga masyarakat dusun Sumberdadi.

Menurut Kepala Desa (Kades) Gunungsari Susanto bahwa, Sedekah Bumi dipercaya berawal dari penyebaran agama Islam di tanah Jawa dengan media wayang kulit oleh Sunan Kalijaga. Dalam pagelaran wayang kulit tersebut diselipkan makna atau pesan-pesan tentang materi keislaman yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam.

Lanjut Abah Santo panggilan akrab Kades Gunungsari, “Dalam tradisi sedekah bumi ini terkandung nilai-nilai pendidikan Islam yakni mengenai keimanan, kebersamaan dan sodakoh, selain itu, dalam ritualnya terdapat pembacaan do’a dan tahlil sebelum dimulainya acara yang melambangkan kewajiban mengingat Allah SWT sebelum melakukan sesuatu dengan dasar iman kepada Allah SWT,” paparnya.

Dalam hal ini, “Sayapun mempercayainya bahwa tradisi ini adalah bentuk syukur terhadap sang pencipta, kegiatan tersebut sudah kami alami serta membawa dampak positif bagi warga masyarakat. Hal ini juga merupakan ajaran baik dalam agama Islam dan nilai ibadah yang bertujuan untuk mencari ridha dari Allah SWT,” tambah Abah Santo

Adapun pesan yang disampaikan Abah Santo terhadap warga yang hadir dalam kegiatan,” jikalau ada suatu masalah sekecil apapun dengan siapapun, Jangan sampai jauh jauh, cukup diselesaikan di pak polo (Kasun) atau Kepala Desa (Kades) sudah cukup jangan jauh jauh hingga melibatkan kepolisian dan kejaksaan, mari kita jaga kekompakan dan keguyubrukunan kita jangan sampai pecah belah antar keluarga, warga, dan tetangga,” pinta Abah Santo dengan tegas.

Masih pada kesempatan yang sama, Suroto bertindak sebagai pemangku dusun (Kasun) Sumberdadi mengaku kepada awak media Dorronlinenews.com bahwa,” Sedekah bumi ini dilakukan oleh masyarakat pada umumnya yang hidup dari mengolah ladang dan sawah (petani). Upacara yang kami lakukan tidak lain yakni sebagai bentuk ucap syukur terhadap sang pencipta atas hasil bumi yang melimpah ruah,” ungkapnya.

Selain itu, Suroto juga mengucapkan banyak terimakasih terhadap ketua panitia Ngateman dan seluruh panitia pelaksana serta partisipasinya seluruh warga Sumberdadi, “Berkat kekompakan dan kerja keras serta sumbangsih kalian semua sehingga bisa terlaksananya kegiatan Sedekah bumi ini dengan meriah, semoga setelah dilaksanakan kegiatan ini warga dusun Sumberdadi diberikan hasil bumi berlipat ganda dan berlimpah sehingga di tahun depan bisa melaksanakan lebih meriah lagi,” harapnya.

Sementara itu ditempat terpisah salah satu warga setempat Parmi (78) menjelaskan secara gamblang terkait Prosesi sedekah bumi yang dilaksanakan setiap tahun dan turun temurun ini mempunyai tiga tahapan yaitu sebagai berikut :

“Prosesi yang pertama yang dilakukan ialah ‘NYEKAR’ artinya upacara sedekah bumi diawali dengan nyekar atau berdoa untuk para leluhur. Pemuliaan leluhur dan alam ini menggambarkan kehidupan masyarakat petani dusun Sumberdadi yang mempercayai ajaran-ajaran seperti ‘bapa angkasa ibu pertiwi’, ‘kaki-dhanyang’, ‘nini dhanyang’, dan ‘mbok sri’ sebagai bagian dari kemakmuran wulu wetu”.

“Kemudiaan prosesi kedua yakni ‘KENDUREN’ (makan bersama), Para petani memberikan sebagian hasil panennya untuk diolah menjadi aneka ragam hidangan dan disajikan dalam sebuah ritual makan bersama. Kegiatan memasak ini menjadi simbol dari ‘buyut’ yang merawat anak cucunya dan memberikan jaminan kemakmuran bagi kehidupan anak cucu”.

“Selanjutnya yang ketiga atau terakhir adalah tradisi ‘TAYUBAN’ atau tayub artinya masyarakat desa menari bersama berpasangan dengan diiringi gamelan langgam jawa guna membangun kebersamaan dan kerukunan antar warga,” penjelasan Parmi warga setempat.(tyo)

Komentar

Berita Terkait

Back to top button
Close