Vonis Mati Melanggar HAM

Teks foto : Andi Fajar Yulianto
GRESIK, DORRONLINENEWS.COM – Hakim dalam memilih hukuman mati dalam sebuah perkara pidana yang diperiksanya salah satu faktor sangat berpotensi adanya beberapa faktor diantaranya dalam rangka menghindari emosional masyarakat terhadap prilaku yang dianggap telah berbuat kejam, biadap dan keji sehingga hilangnya nyawa.
Hal putusan ini juga dapat dipengaruhi oleh tuntutan atau reaksi keras yang bersifat balas dendam atau extra legal execution dari emosi masyarakat, dan alasan lain agar menjadikan efek jera (deterren effect) oleh karena demikian justru putusan tidak berangkat dari rasa keadilan yang hakiki. Vonis dijatuhkan karena tekanan kebatinan Para Hakim Pemeriksa oleh hal hal sebagaimana tersebut diatas.
Menilik hukuman mati merupakan pengingkaran terhadap Hak Asasi Manusia, tegas termuat dalam Pasal 1 butir (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dilindungi negara, hukum, pemerintah, dan tiap orang, demi kehormatan, harkat, dan martabat manusia dalam arti Nyawa seseorang adalah anugrah Tuhan. Berikut pasal 28.I. ayat (1) UUD 1945 bahwa pokok intinya “Hak untuk hidup, adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Dari beberapa literas pada tahun 2005, terdapat 2.148 orang telah dieksekusi mati yang dilaksanakan oleh 22 negara, termasuk Indonesia. Sebagian besar di antaranya, yakni 94% dilakukan di Iran, Tiongkok, Arab Saudi, dan Amerika Serikat. Kemudian hal ini menjadi perhatian serius sehingga pada tahun 2007 PBB mengadakan Sidang Umum dan menyetujui resolusi penghapusan hukuman mati, respons resolusi ini, setidaknya sudah 141 anggota PBB menghapus dan tegas menolak dan tidak menjalankan hukuman Mati.
J.E. Sahetapy dan Bernard Arief Sidharta, tegas meyatakan hukuman mati bertentangan dengan Pancasila. Sikap demikian juga disuarakan oleh tokoh HAM Indonesia, Yap Thiam Hien.
Di Indonesia kepastian hukum terkait hukuman mati dapat dilihat pada Pasal 10 huruf a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), bahwa hukuman pidana mati termasuk salah satu hukuman pokok. Berikut dictum lanjut tertuang dalam Pasal 104 KUHP, Pasal 124 ayat 3 KUHP, Pasal 140 ayat 4 KUHP, Pasal 340 KUHP, Pasal 365 ayat (4);
Lahirnya KUHP baru pun, sebetulnya secara filosofi sudah mulai menginisiasi mengurangi resiko putusan dengan vonis Mati ini, sebagaimana dapat terbukti dan tersirat pada pasal 100 ayat (1)’Hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaaan selama 10 (sepuluh) tahun jika Terdakwa menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki serta ada alasan yang meringankan. Hal yang menjadikan polemik berbagai pihak akan spekulatifnya potensi pertaruhan integritas KALAPAS dalam jual beli Surat Keterangan Berkelakuan baik. Sebetunya tidak perlu ada kekawatiran yang berlebih, ketika semua elemen penegak hukum dan perangkatnya termasuk Lapas para SDM didalamnya mampu menjaga integritas yang baik dan dilakukan pengawasan pihak pihak / lembaga yang berkompeten untuk ini.
Walau demikian menurut Penulis, sangat sependapat dengan hasil Resolusi PBB, JE Sahetapy, Bernard Arief Sidharta, dan pandangan Yap Thiam Hien tersebut, karena Hukuman Mati bukan saja bertentangan dengan Pancasila, namun jelas hal ini melanggar dan merupakan pengingkaran nyata terhadap Hak Asasi Manusia, pengingkaran Anugrah Tuhan, hukuman paling berat bagi pelanggar hukum sangat setuju namun tidak harus melanggar Hak bagi pihak yang lainya. Karena hakikatnya Hidup Manusia adalah Anugrah Tuhan dan Kematian merupakan Hak Prerogratif Tuhan sehingga manusia tidak boleh memaksakan menjemput paksa atas Kematian Manusia. Karena kembali hidup adalah Anugrah Tuhan.
Oleh:
Andi Fajar Yulianto
Direktur YLBH Fajar Trilaksana.